Setelah
gelombang itu datang
Kulihat berjuta
nyawa melayang
Kemegahan seakan
tak lagi terdengar
Keindahan seakan
lenyap dari pandangan
Kudapati jutaan
wajah tengah berduka
Menatap pada
sanak keluargar
Terbaring kaku
tak berdaya
Mereka tertegun,
tertunduk dengan linangan air mata
Di kejauhan,
tampak sosok bocah
Meungut
puing-puing reruntuhan
Mencari sesuatu
yang tak pasti
Menggenggap
apa-apa yang di dapati
Kulihat, jutaan
harapan telah sirna
Ribuan kenangan
telah hilang
Lenyap bersama
reruntuhan
Sedang sisanya
tersapu ombak dan gelombang
Jutaan nyawa
telah pergi
Tubuhnya
terpanggang terik matahari
Tampak
lalat-lalat mulai hinggap
Menari-nari
keriangan pada tubuh kaku
Jutaan nyawa
yang tersisa
Bertarung
menahan lapar dan dahaga
sedang lalat tengah
berpesta
Menyantap makan
pada tubuh tak bernyawa
Disudut yang
lain
Ribuan manusia
tertunduk layu
Diam tampa kata
Sepi melebihi
apapun yang paling sepi
Kita melihat
jutaan bangsa datang
Mendekat atas
nama kemanusiaan
Membersihkan
puing reruntuhan
Mengubur jutaan
nyawa yang telah berpulang
Kini, gelombang
telah berlalu
Bungong jumpa
tak lagi layu
Sedang gelombang
hanya kenangan pilu
Tawa bocah
kembali merdu
Namun sayang
seribu sayang
Kini bungong
jumpa ditilang malang
Madunya dihisap
kumbang
Lalu kumbang
terbang dan menghilang
Sayang sagatlah
sayang
Bungong jumpa
tak lagi tumbuh di balai pengajian
Aneuk-aneuk
naggroe telah larut dalam perkembangan
Bahkan tak
peduli azan berkumandang
Naggroe telah
kehilangan jutaan jiwa
Yang tersapu
bersama sapaan gelombang
Sedang adat,
budaya, dan warisan
Telah lenyap
ditelan perkembangan
Ini naggroe
siapa
Adat, budaya,
dan warisan kita dimana
Dimana aneuk
naggroe dan bungong jumpa
Mengapa semua
hilang dalam satu gelombang
Kipoennurdin
Seuramoe mekkah,
Desember 2004 – Desember 2013